sejarah
pergerakan Nasional Indonesia
BUDI UTOMO
Sejarah Berdirinya Budi Utomo
Sebuah perkumpulan
bercorak nasionalis pertama di Indonesia, didirikan Rabu pagi, 20
Mei 1908 di Jakarta, yang tanggal tersebut kemudian dijadikan Hari
Kebangkitan Nasional. Dipelopori oleh pemuda-pemuda dari STOVIA,
Sekolah Peternakan dan Pertanian Bogor, Sekolah Guru Bandung, Sekolah
Pamong Praja Magelang dan Probolinggo serta Sekolah Sore untuk
Orang Dewasa di Surabaya. Para pelajar terdiri dari Mas Soeradji, Mas
Muhammad Saleh, Mas Soewarno A., Mas Gunawan, Mas Suwarno B., R. Mas
Gumbreg, R. Angka, dan Soetomo. Nama Budi Utomo diusulkan oleh Mas
Soeradji dan semboyan yang dikumandangkan adalah Indie Vooruit (Hindia Maju) dan bukan Java Vooruit (Jawa Maju).
Pembentukannya berawal dari
perjalanan dokter Wahidin Sudirohusodo yang mengadakan kampanye di
kalangan priayi Jawa antara tahun 1906-1907. Tujuannya ialah
meningkatkan martabat rakyat dan bangsa. Peningkatan ini akan
dilaksanakan dengan membentuk Dana
Pelajar (Studiefonds) yang
merupakan lembaga untuk membiayai pemuda pemuda yang cerdas tetapi
tidak mampu melanjutkan studio Pada akhir tahun 1907, dr. Wahidin
bertemu dengan Sutomo, seorang pelajar dari STOVIA di Jakarta.
Berdasar pertemuan itu, Sutomo menceriterakan kepada teman-temannya
di STOVIA maksud dan tujuan dr. Wahidin.
Tujuan yang semula hanya
mendirikan suatu dana pelajar, diperluas dengan jangkauan yang kelak
memungkinkan berdirinya organisasi Budi Utomo. Istilah Budi
Utomo terdiri atas, kata budi yang
berarti perangai atau tabiat dan utomo yang berarti baik atau luhur. Jadi Budi Utomo,
menurut pendirinya, adalah perkumpulan yang akan mencapai sesuatu
berdasarkan keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat.
Tujuan Budi Utomo
Tujuan Budi Utomo adalah
memperoleh kemajuan yang harmonis bagi nusa dan bangsa Jawa dan
Madura. Pada waktu itu ide persatuan seluruh Indonesia belum dikenal.
Karena itu yang dikehendaki Budi Utomo, hanyalah perbaikan sosial
yang meliputi Jawa dan Madura, juga kata kemerdekaan sama sekali belum disebut. Untuk
melaksanakan tujuan tersebut ditempuh beberapa usaha:
(1) Memajukan pengajaran sesuai
dengan apa yang dicita citakan dr. Wahidin. Ini merupakan
usaha pertama untuk mencapai kemajuan bangsa.
(2) Memajukan pertanian, peternakan, perdagangan.
Jadi sudah dimengerti bahwa kemajuan harus juga meliputi bidang
perekenomian.
(3) Memajukan teknik dan industri,
yang berarti bahwa ke arah itu sudah menjadi cita-cita.
(4) Menghidupkan
kembali kebudayaan.
Terpilihnya Sutomo Sebagai Ketua
Terpilih sebagai Ketua Budi
Utomo ialah Sutomo. Para pendukungnya antara lain Gunawan, Suradji,
Suwardi Suryaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain. Pada tanggal 5
Oktober 1908, diadakan kongres Budi Utomo pertama di Yogyakarta. Ini
dilakukan untuk mengesahkan Anggaran Dasar organisasi serta membentuk
pengurus besar. Susunan personalianya adalah sebagai berikut:
o Ketua, Tirtokusumo (Bupati
Karanganyar)
o Wakil Ketua, dr. Wahidin
Sudirohusodo (dokter Jawa)
o Sekretaris, Dwidjosewojo dan
Sosrosugondo (keduanya guru di Kweekschool Yogyakarta);
o Bendahara, Gondoatmodjo (Opsir
Legiun Pakualaman);
o Komisaris, Suryodiputro (Jaksa
Kepala Bondowoso),
o Djojosubroto (Wedana
Kota Bandung),
o Gondosubroto (Jaksa
Kepala Surakarta dan
o dr. Tjipto Mangunkusumo (dokter
di Demak).
Budi Utomo tergolong
organisasi pertama di antara organisasi bangsa Indonesia yang disusun
secara modern. Merupakan organisasi kebangsaan yang berdasar
pada usaha individu yang bebas dan sadar terhadap persatuan. Surat
kabar Batavia, Bataviansch
Nieuwsblad menyebutnya sebagai langkah pertama telah diayunkan
dan itulah langkah yang besar. Pada tanggal 13 Juli 1908 dalam surat
kabar ini termuat tekad kaum muda sebagai pemimpin di masa yang akan
datang untuk memperbaiki keadaan rakyat.
Beberapa
Kongres Budi Utomo
Pada tanggal 5
Oktober 1908, kongres peresmian dan pengesahan anggaran
dasar, diadakan di Yogyakarta. Tujuan perkumpulan untuk kemajuan nusa
dan bangsa yang harmonis dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian,
peternakan, pedagangan, teknik dan industri, kebudayaan,
mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa
yang terhormat. Pengurus pertama terdiri dari: Tirto Kusumo
(Bupati Karanganyar), sebagai ketua; Wahidin Sudiro Husodo (dokter
Jawa) , Wakil ketua; Dwijosewoyo dan Sosrosugomdo (keduaduanya guru
Kweekschool), sekretaris; Gondoatmodjo (opsir legiun
Pakualaman), bendahara; Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso),
Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangoenkoesoemo (dokter
di Demak) sebagai komisaris. Simpatisan untuk organisasi ini
berdatangan, sehingga setahun kemudian (1909) tercatat 40 cabang.
Setelah itu bermunculan perhimpunan-perhimpunan politik lainnya.
Dalam perkembangan
selanjutnya dalam suasana politik yang semakin terbuka melalui
Kongres 1928, Budi Utomo memutuskan akan menjalankan prinsip
nonkooperasi jika rencana undang-undang tentang Inlandsche Meerderheid dalam Volksraad
ditolak Perwakilan Rakyat Belanda. Keputusan penting penambahan
satu kalimat dalam pasal tujuan perhimpunan: membantu terlaksananya
cita-cita persatuan Indonesia. Konggres 1932, tujuan BU diubah secara
radikal yaitu Mencapai Indonesia Merdeka. Prakarsa mengenai fusi
disetujui kongres; terbuka bagi perhimpunan yang beranggotakan orang
Indonesia; diselenggarakan atas dasar kenasionalan Indonesia yang
menuju Indonesia merdeka dan Kesatuan; bersikap kooperatif, dengan
hal-hal tertentu dijalankan non-kooperatif. Konggres Juni 1933,
membahas masalah Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Scholen ordonnantie), perbaikan hidup kaum tani dan
menentang pembatasan hak berserikat dan berkumpul. Januari 1934,
dibentuk komisi BUPBI (Persatuan Bangsa Indonesia), yang
kemudian disetujui oleh kedua pengurus besarnya pertengahan 1934. Tanggal
24-26 Desember Kongres peresmian fusi dan juga merupakan kongres
terakhir BU, dan lahirlah Partai Indonesia Raya atau
disingkat PARINDRA.
Perkembangan
Budi Utomo
Budi Utomo
mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo.
Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa
Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata politik ke dalam tindakan yang
nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai tanah air Indonesia makin lama
makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah
Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi
persnya.
Perkumpulan ini
bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali.
Baginya tanah air (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.Pada masa itu pula
muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan
bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam,
untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah
oleh, antara lain, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk
mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan.
Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya
gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo
agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih
oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo
memang belum berpengalaman.
Karena gerakan
politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti
oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut. Ketika
Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya,
dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang
dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi
sangat marah.
Kemarahan itu
mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara)
untuk menulis sebuah artikel "Als ik Nederlander was" (Seandainya
Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat
pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya
bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto
Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi
Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam
pergerakan orang-orang pribumi.
Agak berbeda
dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan kebudayaan dari
pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah manifestasi dari
perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang Indonesia mengajarkan
kepada bangsanya bahwa "nasionalisme Indonesia" tidaklah bersifat
kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan demikian, nasionalisme terdapat
pada orang Sumatera maupun Jawa, Sulawesi maupun Maluku.
Pendapat tersebut
bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Budi Utomo hanya
mengenal nasionalisme Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan
menolak suku bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal
pengertian nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar
seseorang bisa menjadi anggota.
Namun, Soewardi
tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam
perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme "Indonesia"
ada dan merupakan unsur yang paling penting.
SAREKAT ISLAM
MUNCULNYA
GERAKAN SAREKAT ISLAM
Sebelum menggunakan nama Sarekat Islam, organisasi ini
bernama Saarekat Dagang Islam (SDI), yang didirikan oleh Wirjodikoro yang
setelah menunaikan ibadah haji bernama Haji Samanhudi di Solo pada akhir 1911.
Sebenarnya ada pula sebagian pendapat yang mengatkan bahwa SDI telah berdiri
pada tahun 1905. Tujuan SDI adalah memajukan perdagangan, melawan monopoli
Toinghoa dan memanjukan Agama Islam. Karena itulah, SDI disebut gerakan
nasionalistis-religius-ekonomis. Dalam perkembangannya, SDI tidak sekadar
menjadi organisasi yang ebrgeak dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam
bidang politik. Perjuangan dalam bidang politik dilakukan sebagai reaksi atas
Christelijke Zending atauKristening-Politiek yang dilakukan terhadap pengajaran
agama di Indonesia. Namun, Belanda justru memberi kesempaatan kepada pengajaran
zending dan missie. SDI adalah simbol perlawanan atas kesewenang-wenangan
Pemerintah Kolonial Belanda.
SDI mengarahkan pergerakannya di kalangan rakyat
kebanyakan. Salah satu sebab berdirinya SDI adalah untuk melawan perdagangan
Bangsa Tiionghoa, maka sering terjadi permusuhan dan persaingan natara pedanagn
Toinghoa dan Pedagang Islam (Indonesia). Hal ini menimbulkan ketegangan dikedua
belah pihak yang menebabkan terjadinya huru-hara. Pemerintah menganggap SDI
bertanggung jawab atas semua ketegangan-ketegangan tersebut. Maka SDI diskors
oleh Residen Surakarta pada tanggal 12 Agustus 1912. Namun, karena tidak ada
tanda-tanda penentangan SDI, maka tanggal 26 Agustus 1912, skorsing itu dicabut
kembali.
1.
Perubahan
Sarekat Dagang Islam Menjadi Sarekat Islam.
Di kalangan para pemimpin SDI timbul
niat untuk memperluas kegiatannya. Pada tanggal 10 September 1912 dengan
kedatangan H. O. S. Tjokroaminoto maka disusunlah Anggaran Dasar (AD) baru yang
isinya memperluas dan mempergiat usaha di bidang social, pendidikan, agama
serta perubahan nama menjadi Sarekat Islam (SI) yang pengesahannya dilakukan di
hadapan notaris B. Terkuile. Kemudian tanggal 12 September 1912 setelah sampai
di Surabaya Tjokroaminoto menyampaikan AD SI itu. Haji Samanhudi menjabat Ketua
Pengurus Besar yang pertama dan Tjokroaminoto sebagi Komissarisnya. Peraturan
tersebut memungkinkan pembentukan cabang-cabang
di bawah peimpinan pengurus besar.
AD tersebut memuat tujuan SI yaitu;
Memajukan
perdagangan
Memberikan
pertolongan kepada kepada anggota yang mengalami kesukaran ( semacam koperasi )
Memajukan kepentingan rohani dan jasmani penduduk
pribumi
Memajukan
agama Islam
Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat
disimpulkan bahwa SI lebih menitikberatkan pada bidang ekonomi dan agama.
Sementara tujuan politik tidak ada. Akan tetapi ini hanyalah siasat belaka
karena memang pada saat itu kegiatan perpolitikan dilarang pemerintah
berdasarkan Peraturan Pemerintah pasal 111. Sementara dalam aksinya justru
banyak menentang pemerintahan. Maka tak diragukan lagi, periode SI adalah
periode kebangkitan revolusioner dalam arti tindakan yang gagah berani melawan
penindasan kolonial.
Kongres SI pertama berlangsung
pada tanggal 26 Januari 1913 di Surabaya. SI berhasil berkembang dengan baik.
Misalnya SI cabang Jakarta memiliki 13.000 anggota. Oleh kekhawatiran itu,
pemerintah kolonial berusaha membendung gerakan ini. Mereka menyebutkan bahwa
semua cabang harus berdiri sendiri. Penetapan ini dikeluarkan apda tanggal 30
Juni 1913. SI-SI lokal memiliki tujuan AD yang sama, yaitu:
Memajukan
pertanian, perdagangan,kesehatan, pendidikan, dan pengajaran;
Memajukanh
idup menurut perintah agama dan menghilangkan paham-paham yang keliru dalam
agama Islam;
mempertebal
rasa persaudaraan dan saling tolong menolong di antara anggotanya
Pada tahun 1913, SI daerah yang diakui pemerintah
berjumlah 56 buah. Untuk mengkoordinasi SI-SI local itu, pimpinan SI
berinisiatif membentuk Central Sarekat Islam (CSI). CSI berhasil memperoleh
pengesahan hukum dari pemerintah tertanggal 18 Maret 1916. Pengurus CSI yang
pertama adalah Tjokroaminoto (ketua), Abdul Muis dan H. Gunawan (wakil ketua),
dan Haji Samanhudi sebagai ketua kehormatan. Pada tanggal 17-24 Juni 1916, CSI
mengkoordinasi SI local untuk mengadakan kongres yang diselenggarakan di
Bandung. Perwakilan dari SI-SI local itu berjumlah delapan puluh. Kongres
dipimpin oleh Tjokroaminoto. Jumlah anggota yang mewakili lebih kurang 360.000.
Jumlah semua anggota pada saat itu lebih kurang 800.000. Sarekat Islam
mengajukan dua nama untuk menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang dibuka
pada tanggal 18 Mei 1912. SI mengirimkan Tjokroaminoto dan Abdul Muis sebagai
perwakilan mereka.
Kongres Nasional SI ketiga yang
dilaksanakan pada tanggal 29 September-6 Oktober 1918 di Surabaya. Kongres
memutuskan untuk menentang Pemerintahan Belanda sepanjang tindakannya
melindungi kapitalisme, anggapan pegawai negeri Indonesia sebagai alat
penyokong kepentingan kapitalis, mengadakan peraturan tentang kaum buruh untuk
menentang kapitalisme, dan mengorganisasi kaum buruh. SI menggabungkan diri
kedalam Radicale Concertatie pada tanggal 16 November 1918.
Kongres keempat pada tanggal
26 Oktober-2 November 1919 di Surabaya. Dalam kongres ini pembicaraan utamanya
adalah tentang serikat sekerja. Orang yang ditunjuk sebagai pemimpin sarikat
sekerja adalah Sosorokardono Sementara peningkatan jumlah anggota SI meenjadi
2juta lebih anggota.
2.
Seputar Lambang Banteng Dalam Sarekat Islam.
Pada masa
awal, SI menggunakan lambang yang sangat rumit. Salah satu symbol dalam
lambangnya adalah banteng. Lambang ini disahkan pada 23 Oktober 1917. Sepuluh
tahun sebelum PNI didirikan 4 Juli 1927 dan empat belas tahun sebelum Partai
Indonesia (Partindo) didirikan 30 April 1931. Lalu lambang banteng itu diambil menjadi
lambang PNI oleh Soekarno atas izin dari H.O.S Tjokroaminoto yang tak lain
adalah menantu Bung Karno. Tjokroaminoto mengizinkannya karena pada saat itu SI
telah menyederhanakan lambangnya hanya dengan Bulan Bintang. Bung Karno
menyederhanakannya dengan hanya menjadi kepala banteng saja. Lalu ketika PNI
dibubarkan oleh Sartono, dan kemudian mendirikan Partindo, seluruh badan
banteng yang mirip lambang SI dipakai lagi oleh Partindo.
SEJARAH
PERGERAKAN SAREKAT ISLAM
Sejak pergantian nama menjadi Sarekat Islam,
pergerakan SI menjadi sangat luas dan mengalami pasang surut. Masa perkembangan
dan masa kememasan SI telah dijelaskan pada pembahasan terdahulu. Kini akan
menjaelaskan mengapa SI mengalami kemerosotan.
Terjadinya pemberontakan Toli-Toli pada tanggal 5 Juni 1919 dan pemberontakan rakyat di Cimareme. Dalam pemberontakan tersebut, SI sebenarnya tidak tersangkut. Namun pemerintahan kolonial menganggap SI ada hubungannya dengna pemebrontakan tersebut. Maka mereka bertidak keras terhadap SI. Akibatnya jumlah anggota SI merosot. Sebab-sebab tersebut diperhebat dengan munculnya propaganda komunis. Pada waktu itu, telah berdiri perkumpulan Indisch Sociaal Democratische Verengining (ISDV). Yang dipimpin oleh Sneevliet dan Semaun. Perkumpulan ini melakukan inflitrasi kedalam tubuh SI. Semaun memimpin dua organisasi, yaitu sebagai Ketua Cabang SI Semarang dan ketua ISDV. Sesudah Revolusi Bolsevik di Rusia pada Oktober 1917, ISDV menyatakan diri sebagai organisasi komunis dengan nama Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 23 Mei 1920.
Terjadinya pemberontakan Toli-Toli pada tanggal 5 Juni 1919 dan pemberontakan rakyat di Cimareme. Dalam pemberontakan tersebut, SI sebenarnya tidak tersangkut. Namun pemerintahan kolonial menganggap SI ada hubungannya dengna pemebrontakan tersebut. Maka mereka bertidak keras terhadap SI. Akibatnya jumlah anggota SI merosot. Sebab-sebab tersebut diperhebat dengan munculnya propaganda komunis. Pada waktu itu, telah berdiri perkumpulan Indisch Sociaal Democratische Verengining (ISDV). Yang dipimpin oleh Sneevliet dan Semaun. Perkumpulan ini melakukan inflitrasi kedalam tubuh SI. Semaun memimpin dua organisasi, yaitu sebagai Ketua Cabang SI Semarang dan ketua ISDV. Sesudah Revolusi Bolsevik di Rusia pada Oktober 1917, ISDV menyatakan diri sebagai organisasi komunis dengan nama Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 23 Mei 1920.
Pada tahun 1923, SI mengadakan kongres yang ketujuh di
Madiun. Memutuskan untuk mengganti CSI menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).
Setelah berganti nama menjadi PSI, perkumpulan ini kegiatannya sebagai berikut
:
PSI bersama
Muhammadiyah mendirikan badan All Islam Congress di Garut pada 21 Mei 1924;
Karena
Volksraad dianggap tidak menguntungkan, maka PSI menjalankan politik non
koperasi;
Pada tahun
1927 organisasi ini mengubah haluannya menjadi mencapai kemerdekaan nasional
berdasarkan Agama Islam.
PSI meningkat menjadi gerakan kebangsaan pada tahun
1927. Pada saa itu, PSI mengubah namanya menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia
(PSII). Perubahan itu terjadi karena masuknya Dr. Sukiman dalam PSII. Masuknya
Dr. Sukiman menimbulkan perpecahan di tubuh PSII. Golongan Tjokroaminoto dan H.
Agus Salim (golongan tua) tidak setuju dengan cara-cara Dr. Sukiman (golongan
muda). Dr. Sukiman kemudian dipecat dari PSII. Ia mendirikan partai baru yaitu
Partai Islam Indonesia (PII). Namun ternyata akibatnya sangat buruk. Maka tak
ada cara lain kecuali PSII mencabut pemecatan Dr. Sukiman. Akan tetapi tenyata
tidak bertahan lama. Akhirnya Dr. Sukiman keluar lagi dari PSII. Perpecahan
dalam tubuh PSII terus berlanjut dengan keluarnya Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Akhirnya, PSII terbagi menjadi beberapa aliran, yaitu aliran
Kartosoewirjo, aliran Abikusno, dan aliran Sukiman. Hal itu mengakibatkan
kerugian pada gerakan islam sendiri, yaitu kedudukannya sebagai partai besar
mengalami kemunduran.
IDEOLOGI
SAREKAT ISLAM
Ideologi yang dibawa oleh SI adalah nasionalisme yang
berbasis Agama Islam. Namun infiltrasi yang dilakukan oleh komunis menyebabkan
perpecahan ditubuh SI karena perbedaan ideology. SI terpecah menjadi SI Putih
dan SI Merah. SI Putih dipimpin oleh Tjokroaminoto dan H. Agus Salim. Sementara
SI Merah dipimpin oleh Semaun dan Darsono. Jiwa besar para pemimpin SI dalam
menghadapi komunisme masih jelas dalam kongres tanggal 2-6 Maret 1921. Dalam
kongres ini H. Agus Salim memegang peranan penting. Karena ia diserahi tugas
bersama Semaunya untuk menetapkan dasar-dasar baru sebagai pengganti dasar 1917
yang pada pokoknya menentukan bahwa penjajahan dalam bidang politik dan ekonomi
itu disebabkan kapitalisme. SI masih memberikan hati kepada kaum komunis yang
diwakili Semaun dan Darsono. Mereka sebagai ketua dan wakil ketua PKI di
samping masih memegang jabatan sebagai pengurus SI. Mereka pun tetap berusaha
berada dalam SI dengan meksud agar dapat menggantikan inti batin organisasi
dari Islam menjadi Komunis.
Namun dalam kongres luar biasa SI pada tahun 1921,
Semaun dan kawan-kawannya dikeluarkan dari SI. Mereka mengubah nama SI Merah
menjadi Sarekat Rakyat. PKI menyatakan Sarekat Rakyat sebagai organisasi
bawahannya.
INDISCHE
PARTIJ
Indische Partij
(IP) didirikan oleh Ernest Francois Douwes Dekker (Danudirjo Setyabudi), dr.
Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat di Bandung pada tanggal 25
Desember 1912. Mereka terkenal dengan sebutan Tiga Serangkai. Sebelum membentuk
Indische Partij, mereka telah memropagandakan Hindia untuk Hindia. Douwes
Dekker ingin menanamkan perasaan kebangsaan terhadap orang-orang kulit putih
dan kulit berwarna yang lahir di Hindia Belanda (Indonesia). Ia ingin
menyatukan orang-orang kulit putih dan kulit berwarna.
Indische Partij
adalah organisasi yang pertama kali bergerak dalam bidang politik dengan haluan
asosiasi dan kooperatif. Untuk mewujudkan cita-citanya, Indische Partij dalam
program kerja telah menetapkan langkah-langkah sebagai berikut:
a) meresapkan cita-cita kesatuan
nasional Hindia (Indonesia),
b) memberantas kesombongan sosial dalam
pergaulan, baik di bidang pemerintahan maupun kemasyarakatan,
c) berusaha untuk mendapatkan persamaan
hak bagi semua orang Hindia,
d) memperbesar pengaruh pro-Hindia di
dalam pemerintahan,
e) meningkatkan pengajaran yang
kegunaannya harus ditujukan untuk kepentingan ekonomi Hindia,
f)
memperbaiki keadaan ekonomi bangsa
Hindia, terutama dengan memperkuat mereka yang memiliki ekonomi lemah,
g) memberantas usaha yang membangkitkan
kebencian antara agama yang satu dan agama lainnya.
Pasal-pasal itu
pula yang membuktikan bahwa Indische Partij merupakan partai politik yang
pertama muncul di Indonesia. Dalam waktu singkat IP mempunyai 30 cabang dengan
anggota lebih dari 7.000 orang. Karena Indische Partij bersifat progresif
dengan tujuan ingin merdeka, pemerintahan Hindia Belanda cemas dan bersikap
tegas. Permohonan Indische Partij untuk mendapat pengakuan sebagai badan hukum
pada bulan Maret 1913 kepada pemerintah kolonial Belanda ditolak. Alasannya,
organisasi itu bersifat politik dan mengancam keamanan umum. Meskipun kemudian
ada perubahan dalam anggaran dasarnya, permohonan Indische Partij untuk
berbadan hukum tetap ditolak.
Dokter Cipto
Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat selain memimpin Indische Partij juga
memimpin suatu lembaga yang diberi nama Komite Bumiputra. Komite itu memohon
kepada Raja Belanda agar pemerintah mencabut peraturan tentang hukuman terhadap
orang pribumi yang dicurigai bermaksud jahat. Dokter Cipto Mangunkusumo juga
menulis tentang sejarah dan filsafat bangsa Jawa.
Suwardi
Suryaningrat mengecam pemerintah Belanda dengan menulis artikel yang berjudul
Als Ik eens Nederlander was yang berarti Seandainya Aku Seorang Belanda. Akibat
tulisan tersebut, Belanda menjatuhkan hukuman pengasingan kepada ketiganya.
Douwes Dekker diasingkan ke Timor, dr Cipto Mangunkusumo diasingkan ke Banda,
dan Suwardi Suryaningrat diasingkan ke Bangka. Hukuman itu kemudian diubah.
Ketiganya boleh memilih tempat pengasingan ke luar negeri. Mereka akhirnya
memilih Negeri Belanda. Akibat pengasingan tersebut pengikut dan pendukung
Indische Partij bubar dan banyak yang masuk ke dalam perkumpulan Insulinde,
yakni organisasi peranakan Eropa dan orang Eropa yang ingin tetap tinggal di
Hindia.
Pada tahun 1918,
tokoh Tiga Serangkai diperbolehkan pulang ke Tanah Air. Di Tanah Air, ketiga
tokoh tersebut segera bergabung dengan Insulinde dan mempunyai pengaruh besar
di dalamnya. Akhirnya, perkumpulan itu dapat menjadi partai yang berjuang
menuju kemerdekaan. Oleh karena pengaruh SI sangat kuat menyebabkan Partij
Insulinde makin lemah. Dengan perkembangan baru tersebut, pada bulan Juni 1919
Partij Insulinde diubah namanya menjadi National Indische Partij (NIP). Suwardi
Suryaningrat dan Douwes Dekker kembali menjadi pengurus besarnya.
National Indische
Partij menyusun anggaran dasar baru. Maksud dan tujuan organisasinya hampir
sama dengan Indische Partij sehingga pada tahun 1923 National Indische Partij
dilarang beraktivitas politik pemerintah Belanda. Pemimpin partai kemudian
memutuskan tidak akan mendirikan partai lagi dan menganjurkan supaya para
anggotanya memasuki salah satu partai yang ada untuk melanjutkan perjuangan.
Douwes Dekker dan
Suwardi Suryaningrat melanjutkan perjuangan melalui jalur pendidikan. Douwes
Dekker membuka perguruan nasional dengan nama Kesatrian Institut setingkat SD
di Pasir Kaliki, Bandung. Suwardi Suryaningrat pada tahun 1922 mendirikan
Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Setelah mendirikan Taman Siswa, Suwardi
Suryaningrat lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Dokter Cipto
Mangunkusumo melanjutkan perjuangan politik secara bebas dan menerbitkan surat
kabar berbahasa Jawa yang bernama Panggugah.
Perkembangan Indische Partij
E.F.E. Douwes Dekker berpendapat
bahwa hanya melalui kesatuan aksi melawan kolonial, bangsa Indonesia dapat
mengubah sistem yang berlaku, juga keadilan bagi sesama suku bangsa merupakan
keharusan dalam pemerintahan. E.F.E. Douwes Dekker berpendapat, setiap gerakan politik
haruslah menjadikan kemerdekaan yang merupakan tujuan akhir. pendapatnya itu
disalurkan melalui majalah Het Tijdschrift dan surat kabar De Espres.
E.F.E Douwes Dekker banyak
berhubungan dengan para pelajar STOVIA di Jakarta. Menurut Suwardi Suryaningrat,
meskipun pendiri Indische Partij adalah orang Indo, tetapi tidak mengenal
supermasi Indo atas Bumi Putera, bahkan ia menghendaki hilangnya golongan Indo
dengan meleburkan diri dalam masyarakat bumi putera. Suwardi Suryaningrat
mendirikan Taman Siswa (1922) dan menentang Undang-Undang Sekolah Liar (1933).
Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo meneruskan perjuangannya yang radikal, walaupun ia
dibuang bersama E.F.E. Douwes Dekker ke Belanda tahun 1913. Pada tahun 1926 ia
dibuang la dibuang lagi ke Banda dan sebelumnya dipenjarakan dua tahun di
Bandung. Sebelum Jepang masuk ia dibebaskan dari penjara pada tahun 1943 ia
meninggal dunia.
E. F. E. Douwes Dekker melakukan
propaganda ke seluruh Jawa dari tanggal 15 September sampai dengan 3 Oktober
1912. Perjalanan itu ia pergunakan untuk melakukan rapat dengan golongan elit
lokal seperti di Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Semarang, Tegal, Pekalongan,
dan Cirebon. E.F.E Douwes Dekker disambut hangat oleh pengurus Budi Utomo di
Yogyakarta.
Dari Anggaran Dasar Indische Partij
dapat disimpulkan bahwa tujuannya adalah untuk membangun lapangan hidup dan
menganjurkan kerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan guna memajukan tanah
air Hindia Belanda dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.
Indischer Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang menampung semua suku
bangsa di Hindia Belanda untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Paham kebangsaan
ini, setelah mengalami perjalanan panjang, diolah dalam Perhimpuan Indonesia
(1924) dan Partai Nasional Indonesia. Semangat jiwa dari dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat sangat besar berpengaruh bagi pemimpin
pergerakan waktu itu, terlebih lagi Indischer Partij menunjukan garis
politiknya secara jelas dan tegas serta menginginkan agar rakyat Indonesia
dapat menjadi satu kesatuan penduduk yang multirasial. Suwardi Suryaningrat,
Tjipto Mangoenoesoemo, Douwes Dekker ingin menggagalkan niat Belanda dengan
tulisan yang berjudul Alk ik een Nederlander was yang artinya “Andaikata aku
seorang Belanda”. Ketiga tokoh Indische Partij ditangkap pada tahun 1913 mereka
diasingkan ke Belanda. pada tahun 1914 Tjipto Mangoenkoesoemo dikembalikan ke
Indonesia (karena sakit) sedangkan Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker tetap
terjun dalam bidang politik dan Suwardi Suryaningrat terjun ke dalam bidang
pendidikan, selanjutnya dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara
Tokoh-Tokoh
Pendiri Indische Partij (3 Serangkai)
1) Ernest Douwes Dekker
Dr. Ernest François Eugène Douwes
Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi;
lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 8 Oktober 1879-wafat
di Bandung, Jawa Barat, 29 Agustus 1950
pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.
Riwayat hidup
Pendidikan dasar
ditempuh Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan pertama-tama diteruskan ke HBS
di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium
Willem III, suatu sekolah elit di Batavia. Selepas lulus
sekolah ia bekerja di perkebunan kopi
"Soember Doeren" di Malang, Jawa Timur. Di sana ia menyaksikan
perlakuan semena-mena yang dialami pekerja kebun, dan sering kali membela
mereka. Tindakannya itu membuat ia kurang disukai rekan-rekan kerja, namun
disukai pegawai-pegawai bawahannya. Akibat konflik dengan manajernya, ia
dipindah ke perkebunan tebu "Padjarakan" di Kraksaan
sebagai laboran. Sekali lagi, dia terlibat konflik
dengan manajemen karena urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan padi
petani. Akibatnya, ia dipecat.
2) Tjipto Mangoenkoesoemo
Dr. Cipto Mangunkusumo atau Tjipto
Mangoenkoesoemo (Pecangakan,
Ambarawa, 1886-Jakarta, 8 Maret 1943)
adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Ernest Douwes
Dekker dan Ki Hajar Dewantara
ia dikenal sebagai "Tiga Serangkai" yang banyak menyebarluaskan ide
pemerintahan sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Ia adalah tokoh dalam Indische Partij, suatu organisasi politik
yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk
setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun
1913 ia dan kedua rekannya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda
akibat tulisan dan aktivitas politiknya, dan baru kembali 1917. Dokter Tjipto
menikah dengan seorang Indo pengusaha batik,
sesama anggota organisasi Insulinde, bernama
Marie Vogel pada tahun 1920. Ia wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP
Ambarawa.
3)
Ki Hadjar
Dewantara
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD:
Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar
Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro;
lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – wafat di
Yogyakarta, 26 April 1959
pada umur 69 tahun; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau
"KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan
Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan
Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan
Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan
bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya
para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang
diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani,
menjadi slogan Departemen
Pendidikan Nasional. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar
Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah.
Berdirinya
PI berawal dari didirikannya Indosche Vereniging tahun 1908 di Belanda,
iorganisasi ini bersifat moderat (selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan
yang ekstrem) sebagai perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia di Belanda untuk
memperbincangkan masalah dan persoalan tanah air. Pada awalnya Perhimpunan
Indonesia merupakan organisasi sosial. Memasuki tahun 1913, dengan dibuangnya
tokoh Indische Partij ke Belanda maka dibuatlah pokok pemikiran pergerakan
yaitu Hindia untuk Hindia yang menjadi nafas baru. Perkumpulan mahasiswa
Indonesia. Iwa Kusumasumantri sebagai ketua menyatakan 3 azaz pokok Indische
Vereeniging yaitu:
1) Indonesia menentukan nasibnya
sendiri
2) Kemampuan dan kekuatan sendiri
3) Persatuan dalam menghadapi Belanda
Tahun
1925 Indische Vereeniging berubah menjadi Perhimpunan Indonesia dengan
tujuannya Indonesia merdeka. Banyak kegiatan yang dilakukan oleh aktivis PI
Belanda maupun di luar negeri, diantaranya ikut serta dalam kongres Liaga
Demikrasi Perdamaian Internasional tahun 1926 di Paris, dalam kongres itu
Mohammad Hatta dengan tegas menyatakan tuntutan akan kemerdekaan Indonesia.
Demikian pula pendapat-pendapat mereka banyak disampaikan ke tanah air.
Aksi-aksi yang dilakukan menyebabkan Hatta dkk dituduh melakukan pemberontakan
terhadap Belanda. Karena dituduh menghasut untuk pemberontakan terhadap Belanda
maka tahun 1927 tokoh-tokoh PI diantaranya M. Hatta, Nasir Pamuncak, Abdul
Majid Djojonegoro dan Ali Sastroamijoyo ditangkap dan diadili.
Tindakan-tindakan PI dapat dikatakan radikal, apakah radikal itu? Radikal
adalah suatu paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan
secara keras.
Tokoh-tokoh
perhimpunan Indonesia, Guanawan Mangunkusumo, Moh. Hatta, Iwa Kusumasumantri,
Sastro Mulyono, dan Sartono. Menurut pendapat Anda apakah benar Perhimpunan
Indonesia merupakan manifesto pergerakan nasional Indonesia. Karena status
anggota PI sebagai mahasiswa membawa posisi mereka tanpa ikatan sosial politik
tertentu dan tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan kedudukan,
sehingga mereka tidak khawatir dalam bertindak terang-terangan melawan
pemerintah Bealnda Organisasi ini juga membuat lambang untuk Indonesia
diantaranya merah putih sebagai bendera. Semenjak berakhirnya PD I perasaan
anti kolonialis dan imperialis di kalangan pimpinan dan anggota PI semakin
menonjol, apalagi setelah ada seruan dari Presiden AS, Woodrow Wilson mengenai
hak untuk menetukan nasib bangsa sendiri. Tahun 1925 PI semakin tegas memasuki
kancah politik, yang juga didorong juga oleh kebangkitan nasionalisme di
Asia-Afrika. Disamping itu, mengusahakan suatu pemerintahan untuk Indonesia,
yang bertanggung jawab kepada rakyat Indonesia semata-mata, dan hal yang
demikian itu hanya bias dicapai oleh rakyat Indonesia sendiri tanpa
mengharapkan bantuan siapapun dan pada prinsipnya menghindarkan perpecahan demi
tercapainya tujuan. Dengan pemikiran yang demikian tegas, wajarlah apabila PI
menjadi satu ancaman terhadap kredibilitas pemerintah Belanda dalam menjalankan
kolonialismenya di Indonesia.
Pergerakan
Nasional antara tahun 1926-1939 dimulai dengan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Bermula dari orang Algemenee Studie Club di Bandung tahun 1926, Ir. Sukarno dkk
seperti Mr. Sumaryo, Ali Sastroamijoyo, & Mr. Sartono bermaksud menggalang
perjuangan melalui organisasi yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia. Dalam
Azasnya PNI berkeyakinan, bahwa syarat yang amat penting untuk perbaikan kembali
semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu ialah kemerdekaan nasional.Oleh
karena itu, maka semua kekuatan haruslah ditujukan ke arah kemerdekaan
nasional.Dengan kemerdekaan nasional rakyat akan dapat memperbaiki rumah
tangganya dengan tanpa gangguan. PNI ingin sekali melihat rakyat Indonesia bisa
mencapai kemerdekaan politik untuk mencapai pemerintahan nasional, mencapai hak
untuk mengadakan Undang-undang sendiri dan mengadakan aturan-aturan sendiri
dalam mengadakan pemerintahan.
Sesudah
PKI dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintah Hindia Belanda akibat
pemberontakannya tahun 1926-1927, maka dirasakan perlunya wadah untuk
menyalurkan hasrat dan aspirasi rakyat yang tidak mungkin lagi ditampung oleh
organisasi-organisasi politik yang ada pada waktu itu. Sejalan dengan hal
tersebut muncul organisasi kebangsaan dengan corak politik nasionalis murni
yaitu PNI yang didirikan tanggal 4 Juli 1927. Kehadiran PNI benar-benar jadi
tantangan pemerintah Hindia Belanda karena organisasi ini benar-benar menunjukkan
perlawanannya.
Dari
azaz maupun tujuannya, terlihat bahwa PNI merupakan organisasi politik yang
ekstrim dan radikal yang tentu saja berlawanan dengan keinginan pemerintah
Belanda.Oleh karena itu berkali-kali tokoh-tokohnya diperingatkan agar tidak
melakukan kegiatan, terutama yang berhubungan dengan massa, seperti rapat-rapat
umum. Mengapa rapat umum dilarang, karena biasanya rapat umum menarik ribuan
massa untuk berkumpul.Walaupun demikian, semangat pantang menyerah tokoh PNI
tetap berkobar, bahkan pada tanggal 17-18 Desember 1927, PNI berhasil
memelopori terbentuknya organisasi sosial politik se Indonesia dalam bentuk
(PPPKI). Permufakatan perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia.
Kegiatan-kegaitan yang dilakukan oleh tokoh PNI menyebabkan pemerintah Hindia
Belanda kehilangan kesabaran sehingga melakukan penangkapan terhadap
tokoh-tokoh PNI, seperti Ir. Soekarno, Maskun, Supriadinata dan Gatot
Mangkupradja.Mereka kemudian diadili dan dimasukkan penjara suka miskin
Bandung.
Organisasi
pemuda yang pertama berdiri adalah Trikoro Darmo yang kemudian berubah nama
menjadi Jong Java. Setelah munculnya Jong Java, berdiri organisasi pemuda yang
serupa dengan nama suku atau daerahnya masing- masing, seperti Jong Sumatranen
Bod, Jong Celebes, Jong ambon, dll. Semua organisasi kedaerahan ini punya
tujuan yang sama untuk memajukan Indonesia dan mencapai kemerdekaan. Para
pemuda tersebut secara langsung tidak berkiprah dalam gerakan yang bercorak
politik, namun lebih mengarah pada usaha untuk memajukan kebudayaan daerah
masing-masing.
Dalam
kongres pemuda ke II tercapai suatu kesepakatan adanya satu nusa, satu bangsa
dan satu bahasa yang merupakan cermin persatuan dan kesatuan yang dikenal
dengan sebutan Sumpah Pemuda. Pada waktu Kongres Pemuda II berlangsung,
dikibarkan pula bendera merah putih dengan iringan lagu Indonesia Raya karya
W.R. Supratman. Sumpah Pemuda ini merupakan sebuah momentum yang sangat penting
karena sejak saat itu telah timbul suatu perasaan kebangsaan dan perjuangan
untuk memperoleh kemerdekaan semakin nyata. Untuk lebih jelasnya berikut ini
dicantumkan hasil Kongres Pemuda Indonesia II yang disetujui pada tanggal 28
Oktober 1928.
PUTUSAN KONGRES PEMUDA-PEMUDA
INDONESIA
Kerapatan pemuda-pemuda Indonesia yang berdasarkan dengan
nama Jong Java, Jong Sumatera (Pemuda Sumatera), Pemuda Indonesia, Sekar Rukun
Jong Islamieten, Jong Batak Bond, Jong Celebes, Pemuda Kaum Betawi, dan
Perhimpunan Pelajar Indonesia. Membuka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober
1928 di negeri Jakarta. Sesudahnya mendengar segala isi-isi pidato-pidato dan
pembicaraan ini.
Kerapatan lalu mengambil kepoetusan:
Pertama:
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA
Kedua:
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE BANGSA INDONESIA
Ketiga:
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA
Kedua:
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE BANGSA INDONESIA
Ketiga:
KAMI
POETRA DAN POETRI INDONESIA MENJUNJUNG BAHASA PERSATUAN BAHASA INDONESIA
Setelah mendengar poetusan ini,
kerapatan mengeloearkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala
perkoempulan-perkoempulan kebangsaan Indonesia. Mengeloearkan keyakinan
persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar poetusannya:
KEMAJUAN SEJARAH BAHASA, HUKUM ADAT,
PENDIDIKAN DAN KEPANDUAN
dan mengeloearkan penghargaan
soepaya poetusan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibacakan dimuka
rapat perkumpulan- perkumpulan. Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda
tersebut, mendorong organisasi pergerakan nasional yang bersifat politik untuk
kesatuan melawan pemerintah Hindia Belanda. Dengan keyakinan bahwa perjuangan
secara bersama akan lebih mudah untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, maka pada
tanggal 17-18 Desember 1927 dibentuklah suatu permufakatan
Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), yang dipelopori
oleh Ir. Sukarno dari PNI. Perhimpunan ini terdiri dari beberapa organisasi
pergerakan nasional seperti PSII, BU, PNI, Pasundan, Jong Sumatranen Bond, Kaum
Betawi dan Kelompok Studi Indonesia. PPPKI diharapkan mampu mempersatukan dan
menjadikan gerakan politik nasional berada dalam satu koordinasi yang baik.
Dalam perkembangan selanjutnya, PPPKI tidak mampu mewujudkan cita-citanya, hal
ini disebabkan adanya pertentangan antara tokoh-tokoh partai yang tergabung di
dalamnya. Tekanan dari pemerintah Hindia Belanda juga menjadi salah satu sebab
semakin menurunnya peran perhimpunan ini dalam pergerakan nasional Indonesia.
Upaya untuk meraih kemerdekaan terus dilakukan, baik melalui perjuangan
kooperatif maupun non kooperatif. Belanda selalu menutup jalan dan melakukan
penekanan terhadap gerakan non kooperatif sementara terhadap gerakan yang
kooperatifpun diwajibkan selalu minta izin apabila akan mengadakan kegiatan.
Hal tersebut membuat kesal para tokoh pergerakan, sehingga melalui Volksraad (dewan rakyat), partai-partai yang
tergabung dalam PPPKI mengeluarkan petisi tanggal 15 Juli 1936. Petisi yang dikenal
sebagai Petisi Sutardjo itu ditanda tangani oleh Sutarjo, IJ. Kasimo, Sam
Ratulangi, Datuk tumenggung dan Kwo Kwat Tiong, berisi usulan kepada pemerintah
Belanda untuk membahas status politik Hindia Belanda 10 tahun mendatang.
Belanda menolak petisi tersebut. Hal ini tentu membuat para tokoh pergerakan
kecewa. Gagalnya petisi Sutarjo merupakan tantangan bagi para tokoh pergerakan
nasional. Untuk mengatasi kekecewaan tersebut di atas maka para tokoh
pergerakan nasional mendirikan organisasi baru, yaitu Gabungan Politik
Indonesia (GAPI) pada tanggal 21 Mei 1939. Gapi merupakan gabungan dari
Parindra (Partai Indonesia raya), Gerakan Indonesia (Gerindo), Persatuan
Minahasa, Partai Islam Indonesia (PII), Partai Katolik Indonesia, Pasundan dan
(PSII) Partai Serikat Islam Indonesia. Langkah yang ditempuh GAPI adalah
mengadakan Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Adapun tujuan dari kongres ini
adalah “Indonesia Berparlemen”. GAPI menuntut agar rakyat Indonesia diberikan
hak-hak dalam urusan pemerintahannya sendiri. Keputusan penting lain setelah
“Indonesia berparlemen adalah penetapan merah putih sebagai bendera Indonesia,
lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan dan penggunaan bahasa Indonesia
bagi seluruh rakyat di Hindia Belanda.
Tuntutan GAPI ditanggapi oleh
pemerintah Belanda dengan Komisi Visman. Komisi ini bertujuan untuk menyelidiki
keinginan bangsa Indonesia. Ternyata komisi ini bekerja tidak jujur dan lebih
memihak kepada Belanda. Pemerintah Hindia Belanda” hanya berjanji akan
memberikan status dominion kepada Indonesia dikemudian hari”. Nah, demikianlah
peranan organisasi-organisasi pergerakan nasional Indonesia dalam perjuangan
memperoleh kemerdekaan. Apakah ada hal lain yang turut perperan dalam
perjuangan tersebut? Tentu pergerakan Nasional Indonesia tidak terlepas dari
peranan pers dan peranan wanita. Pada tahun 1909, E.F.E Douwes Dekker
(Danudirja Setya budi) memberikan sebuah uraian awal tentang pers di Indonesia,
bahwa kedudukan pers berbahasa Melayu lebih penting daripada pers
Belanda.Karena dengan berbahasa Melayu simpati dari kalangan pembaca pribumi
lebih besar. Perkembangan pers bumiputera yang berbahasa melayu menimbulkan
pemikiran di kalangan pemerintah kolonial untuk menerbitkan sendiri suratkabar
berbahasa Melayu yang cukup besar dengan sumber-sumber pemberitaan yang baik.
Menurut Douwess Dekker secara kronologis suratkabar berbahasa Melayu yang
tertua adalah Bintang Soerabaja (1861) dengan pokok pemberitaan mengenai usaha
menentang pemerintah dan pengaruhnya terhadap orang-orang Cina di Jawa Timur.
Kemudian berikutnya adalah Pewarta Soerabaja (1902) dengan pembacanya terbanyak
dari masyarakat Cina. Salah satu surat kabar yang terpenting adalah Kabar
Perniagaan (1902), ada pula mingguan oposisi Ho-Po. Pelopor Pers Nasional
adalah Medan Prijaji yang dipimpin oleh R.M.Tirtoadisuryo, terbit tahun 1907
sebagai mingguan, dan sejak 1910 menjadi surat kabar harian. Sementara surat
kabar yang membawa suara pemerintah dalam bahasa melayu adalah Pancaran Warta
(1901) dan Bentara Hindia (1901).
Peranan Pers dalam usaha membantu
menumbuhkembangkan kesadaran nasional cukup besar artinya bagi langkah
perjuangan rakyat Indonesia menuju kemerdekaan.Ada keterkaitan yang erat antara
pers nasional dengan pergerakan- pergerakan kebangsaan sebagai penerus ide-ide
nasionalisme. Sejalan dengan pergerakan pemuda dalam pergerakan nasional,
timbul pula pergerakan yang dipelopori oleh kaum wanita. Pelopor gerakan kaum
wanita adalah RA Kartini yang menyerukan agar wanita Indonesia diberi
pendidikan karena wanita juga memikul tugas suci.Pendidikan untuk wanita Indonesia
adalah untuk mengangkat derajat sosialnya karena selama ini wanita dianggap
rendah oleh bangsa Indonesia. Setelah sebagian wanita Indonesia mendapatkan
pendidikan barat dan bergaul dengan tokoh-tokoh emansipasi Barat bermunculanlah
perkumpulan atau organisasi wanita, diantaranya Putri Mardika, kemudian sekolah
Kautamaan Istri yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika di Bandung pada tahun
1904.Selanjutnya pada tahun 1920 muncul perkumpulan wanita yang bergerak di
bidang social dan kemasyarakatan, seperti De Gorontalo Mohammedaanshe Vrowen
Vereeniging di Minahasa dan wanito Utomo di Yogyakarta. Dalam perkembangan
selanjutnya, wanita mulai mendirikan perkumpulan sendiri untuk memperjuangkan
cita-citanya. Organisasi yang terkenal antara lain Perserikatan Perempuan
Indonesia, Istri Sedar, dan Istri Indonesia. Organisasi- organisasi ini
kemudian mengadakan kongres perempuan Indonesia yang menanamkan semangat
kebangsaan.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
PNI atau Partai
Nasional Indonesia adalah partai politik tertua di Indonesia. Partai ini
didirikan pada 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia
dengan ketuanya pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo.
Propaganda PNI
di tahun 1920-an
- 1927 -
Didirikan di Bandung oleh para
tokoh nasional seperti Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq
Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Selain itu para pelajar yang tergabung
dalam Algemeene Studie Club yang
diketuai oleh Ir. Soekarno turut
pula bergabung dengan partai ini.
- 1928 -
Berganti nama dari Perserikatan
Nasional Indonesia menjadi Partai
Nasional Indonesia
- 1929 - PNI
dianggap membahayakan Belanda karena
menyebarkan ajaran-ajaran pergerakan kemerdekaan sehingga Pemerintah
Hindia Belanda mengeluarkan perintah penangkapan pada tanggal 24 Desember 1929.
Penangkapan baru dilakukan pada tanggal 29 Desember 1929 terhadap
tokoh-tokoh PNI di Yogyakarta seperti
Soekarno, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata dan Maskun Sumadiredja
- 1930 -
Pengadilan para tokoh yang ditangkap ini dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1930. Setelah
diadili di pengadilan Belanda maka para tokoh ini dimasukkan dalam penjara
Sukamiskin, Bandung.[3] Dalam
masa pengadilan ini Ir. Soekarno menulis pidato "Indonesia Menggugat" dan
membacakannya di depan pengadilan sebagai gugatannya.
- 1931 -
Pimpinan PNI, Ir. Soekarno diganti oleh Mr. Sartono. Mr. Sartono kemudian
membubarkan PNI dan membentuk Partindo pada tanggal 25 April 1931.[3] Moh. Hatta yang
tidak setuju pembentukan Partindo akhirnya
membentuk PNI Baru. Ir.
Soekarno bergabung dengan Partindo.
- 1933 - Ir.
Soekarno ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores sampai
dengan 1942.
- 1934 - Moh.
Hatta dan Syahrir dibuang
ke Bandaneira sampai
dengan 1942.
- 1955 - PNI
memenangkan Pemilihan Umum 1955.
- 1973 - PNI
bergabung dengan empat partai peserta pemilu 1971 lainnya membentuk Partai Demokrasi Indonesia.
- 1998 -
Dipimpin oleh Supeni, mantan
Duta besar keliling Indonesia, PNI didirikan kembali.
- 1999 - PNI
menjadi peserta pemilu 1999.
- 2002 - PNI
berubah nama menjadi PNI Marhaenisme dan diketuai oleh Sukmawati Soekarno,
anak dari Soekarno.
Berdirinya
partai-partai dalam pergerakan nasional banyak berawal dari studie club. Salah
satunya adalah Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai Nasional Indonesia (PNI)
yang lahir di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 tidak terlepas dari keberadaan
Algemeene Studie Club. Lahirnya PNI juga dilatarbelakangi oleh situasi sosio
politik yang kompleks. Pemberontakan PKI pada tahun 1926 membangkitkan semangat
untuk menyusun kekuatan baru dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda.
Rapat pendirian partai ini dihadiri Ir. Soekarno, Dr. Cipto Mangunkusumo,
Soedjadi, Mr. Iskaq Tjokrodisuryo, Mr. Budiarto, dan Mr. Soenarjo. Pada awal
berdirinya, PNI berkembang sangat pesat karena didorong oleh faktor-faktor berikut;
a) Pergerakan yang ada lemah sehingga
kurang bisa menggerakkan massa
b) PKI sebagai partai massa telah
dilarang.
c) Propagandanya menarik dan mempunyai
orator ulung yang bernama Ir. Soekarno (Bung Karno).
Untuk
mengobarkan semangat perjuangan nasional, Bung Karno mengeluarkan Trilogi
sebagai pegangan perjuangan PNI. Trilogi tersebut mencakup kesadaran nasional,
kemauan nasional, dan perbuatan nasional. Tujuan PNI adalah mencapai Indonesia
merdeka. Untuk mencapai tujuan tersebut, PNI menggunakan tiga asas yaitu self
help (berjuang dengan usaha sendiri) dan nonmendiancy, sikapnya terhadap pemerintah juga antipati dan
nonkooperasi. Dasar perjuangannya adalah marhaenisme. Kongres Partai Nasional
Indonesia yang pertama diadakan di Surabaya, tanggal 27 – 30 Mei 1928. Kongres
ini menetapkan beberapa hal berikut;
1. Susunan program yang meliputi:
a) bidang
politik untuk mencapai Indonesia merdeka,
b) bidang
ekonomi dan sosial untuk memajukan pelajaran nasional.
2. Menetapkan garis perjuangan yang
dianut adalah nonkooperasi.
3. Menetapkan garis politik memperbaiki
keadaan politik, ekonomi dan sosial dengan kekuatan sendiri, antara lain dengan
mendirikan sekolah-sekolah, poliklinik-poliklinik, bank nasional, perkumpulan
koperasi, dan sebagainya.
Peranan PNI dalam pergerakan
nasional Indonesia sangat besar. Menyadari perlunya pernyataan segala potensi
rakyat, PNI memelopori berdirinya Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia (PPPKI). PPPKI diikuti oleh PSII (Partai Sarekat Islam
Indonesia), Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen Bond, Kaum Betawi, Indonesische
Studi Club, dan Algemeene Studie Club. Berikut ini ada dua jenis tindakan yang
dilaksanakan untuk memperkokoh diri dan berpengaruh di masyarakat.
1.
Ke dalam, mengadakan usaha-usaha
dari dan untuk lingkungan sendiri seperti mengadakan kursus-kursus, mendirikan
sekolah, bank dan sebagainya.
2.
Keluar, dengan memperkuat opini
publik terhadap tujuan PNI antara lain melalui rapat-rapat umum dan penerbitan
surat kabar Banteng Priangan di Bandung, dan Persatuan Indonesia di Jakarta.
Kegiatan
PNI ini cepat menarik massa dan hal ini sangat mencemaskan pemerintah kolonial
Belanda. Pengawasan terhadap kegiatan politik dilakukan semakin ketat bahkan
dengan tindakantindakan penggeledahan dan penangkapan. Dengan berkembangnya
desas desus bahwa PNI akan mengadakan pemberontakan, maka empat tokoh PNI yaitu
Ir. Soekarno, R. Gatot Mangkuprojo, Markun Sumodiredjo, dan Supriadinata
ditangkap dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan Bandung. Dalam proses peradilan
itu, Ir. Soekarno dengan kepiawaiannya melakukan pembelaan yang diberi judul
“Indonesia Menggugat”. Penangkapan terhadap para tokoh pemimpin PNI merupakan
pukulan berat dan menggoyahkan keberlangsungan partai. Dalam suatu kongres luar
biasa yang diadakan di Jakarta pada tanggal 25 April 1931, diambil keputusan
untuk membubarkan PNI. Pembubaran ini menimbulkan pro dan kontra. Mr. Sartono
kemudian mendirikan Partindo. Mereka yang tidak setuju dengan pembubaran masuk dalam
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) yang didirikan oleh Drs. Mohammad
Hatta dan Sutan Syahrir. Baik Partindo maupun PNI Baru, masih memakai asas PNI
yang lama yaitu self help dan nonkooperasi. Namun di antara keduanya terdapat
perbedaan dalam hal strategi perjuangan. PNI Baru lebih mengutaman pendidikan
politik dan sosial, sedangkan Partindo mengutamakan aksi massa sebagai senjata
yang tepat untuk mencapai kemerdekaan.
Tokoh-tokoh dan
mantan tokoh-tokoh
Dr. Tjipto Mangunkusumo
Mr. Sartono
Mr Iskaq Tjokrohadisuryo\
Mr Sunaryo
Soekarno
Moh. Hatta
Soepriadinata
Partai-Partai
Penerus
PARTAI KOMUNIS
INDONESIA
Partai
Komunis Indonesia (PKI)
adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah
berusaha melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926,
mendalangi pemberontakan PKI
Madiun pada tahun 1948, serta dituduh membunuh 6 jenderal TNI
AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965 yang di kenal dengan peristiwa
G30S/PKI. Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914,
dengan namaIndische
Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial
Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85
anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial
Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda.
Pada
Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang
Merdeka). Editornya adalahAdolf
Baars. Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan
Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari
semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun
demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti
kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan
kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917,
kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri,
yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.
Pada
1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara
Merdeka". Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi
di Rusia harus diikuti Indonesia.
Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut
Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal
Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000
orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah
pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan
soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di
Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk
Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi
hukuman penjara hingga 40 tahun.
ISDV
terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah.
Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara
Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa,
ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini
pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang
Indonesia.
Pembentukan Partai Komunis
Pada
awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan
yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama
di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin
partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan
tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan
keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres
ISDV di Semarang (Mei 1920),
nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai.
PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis
Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini
pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920.
Pada 1924 nama partai ini sekali lagi
diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada
November 1926 PKI memimpin pemberontakan
melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya
sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan
dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000
orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim
ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua [2]. Beberapa orang meninggal di
dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran
pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis.
Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh
pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.
Rencana
pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam
perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas
oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang
mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai
pengikut Leon Trotsky yang
juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi
PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi.
Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Pada
masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama
karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin
PKI Moeso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam
gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini
PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan
serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara
mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan
Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI.
Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak
Republik Indonesia dan pendudukan Belanda melakukan perundingan yang
dikenal sebagai Perundingan
Renville. Hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap
menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya, RI menjadi pihak yang dirugikan
dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir
Syarifuddin diaggap merugikan bangsa, kabinet tersebut
dijatuhkan pada 23 Januari 1948.
Ia terpaksa menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta. Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk Front
Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948.
Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap
pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan. Beberapa aksi yang
dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan propaganda
antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan
membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.
Sejalan
dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang
tokoh komunis yang sejak lama berada
di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan
Amir Syarifuddin untuk menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih
pucuk pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror,
mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI dan
menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah
pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Tujuan pemberontakan itu adalah
meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini
beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang
dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyat
marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang
menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima
Besar Soedirmanmemerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di
Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30 September 1948, Madiun dapat
diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi
ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh
lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Pada 1950,
PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya
yaitu Harian Rakjat dan Bintang
Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil
posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung
kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden
Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin
mudaseperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai
pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara
mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan
sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950,
menjadi 165 000 pada 1954 dan
bahkan 1,5 juta pada 1959.
Pada
Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh
tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan danJakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI
kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu. Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat
dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257
kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.
Pada Juli 1957,
kantor PKI di Jakarta diserang
dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh
banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September
1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya
PKI dilarang.
Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh
yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai
perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas
perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan parakapitalis asing memberikan PKI
kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional.
Pada
Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi
terhadap kebijakan Sukarno yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan
politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam
melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata
antara pusar dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang
disebut revolusioner ini
segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah
kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan
ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya
berhasil dipadamkan.
Pada 1959, militer berusaha menghalangi
diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai
dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam
sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakomyang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama,
dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI
sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan
menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front
bersatu yang multi-kelas.
Ketika
gagasan tentang Malaysia berkembang,
PKI maupun Partai Komunis
Malaya menolaknya. Dengan berkembangnya dukungan dan
keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965,
PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT.
Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti
SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga
Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia(HSI). Menurut
perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah
payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.
Pada
Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para
pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulanApril 1962,
PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963,
pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan
tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan
oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal.
PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan
federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan
menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan
pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil
mencapai Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun demikian
kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba.
Salah
satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan
ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam
militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya.
Hal inilah yang membuat TNI AD merasa
khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan
"tentaranya".
Gerakan 30 September
Alasan
utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu upaya pada melawan
apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat
terhadap Presiden Sukarno“Aktivitas PKI
dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin
agresif. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang
sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut "kapitalis
birokrat“ terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara,
pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan
"Aksi Sepihak“ dan istilah "7 setan desa“[April 2010], serta
serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya
bertitik berat kepada "kepemimpinan“-nya dan mengabaikan
"demokrasi“-nya adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas
PKI sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa
telah berdominasi. Anggapan bahwa partai ini berdominasi,pada akhirnya
tidak lebih dari satu ilusi.
Ada
pun Gerakan 30 September 1965, secara politik
dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnyaKamaruzzaman (Syam),
bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di
komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer
dipimpin oleh kolonel A.
Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas
di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS
(Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS (Monumen
Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung Samsuri.
Menurut
keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil alih
semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah,
hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan
akan mengalami kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan
sesuai dengan rencana, maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan
ialah bagaimana mencari jalan menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan
bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa
ditemui oleh teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan
selanjutnya. Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran
dan kontroversi narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim
kebenaran bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya,
sehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh
sesudah peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal
segera setelah terjadinya peristiwa.
Di
tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Xinhua,
memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal
Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen
Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.
Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak
terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh
partai yang keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan
tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI.
Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi
keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang
perwira pertama AD pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober
1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang
terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan
politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah
perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman,
melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan
para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan
pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan
melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang
pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.
Setelah
berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah
bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI
yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu
memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam
batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat
dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan
versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandung
unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan
muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama yang bertujuan untuk memberi
posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata.
Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa
sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.
Terdapat
sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan cermat
dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa
politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30
September 1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu
peristiwa di mana enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik
dan dibunuh– sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha
merebut kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan
sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada
dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka pertarungan
kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang perlu lebih
diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih mendekati
kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan. Bahwa
dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun
konflik sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965,
terjadi malapetaka berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan
anggota-anggota PKI terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses
telah dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala
PARTAI INDONESIA
(PARTINDO)
Latar
Belakang Berdirinya Partindo
Adanya
permohonan naik banding yang diumumkan oleh Dewan Hakim tanggal 17 April 1931
berarti PNI membubarkan diri walaupun pemerintah secara tidak langsung
menyatakan bahwa PNI sebagai partai terlarang dan membubarkannya tetapi jelas
bahwa ia akan menghadapi kesulitan bagi eksistensinya. Pada tanggal 1 Mei 1931
diumumkan pendirian Partindo merupakan kelanjutan dari PNI yang telah
dibubarkan dan Sartono mengharapkan agar anggota PNI masuk kembali dalam
Partindo.
Tujuan
Partindo
Tujuan
Partindo adalah untuk mencapai satu Negara Republik Indonesia Merdeka dan
kemerdekaan akan tercapai jika ada persatuan seluruh bangsa Indonesia. Partindo
menyelenggarakan kongresnya pada tanggal 15 – 17 Mei 1932 di Jakarta. Ir.
Soekarno belum menjadi anggota partai, tetapi dia memberikan pidato singkat di
dalam kongres dan muncul slogan-slogan seperti “Indonesia Merdeka Sekarang”,
“Imperialisme”, “Menentang Kebangsaan”, “Asas-asas Partai Indonesi Menentukan
Nasib Sendiri”, “Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan Kebangsaan”.
Perkembangan
Partindo
Setelah
Ir. Soekarno masuk partai Partindo, ia kemudian menjadi Ketua Cabang Bandung.
Pada waktu ia memimpin cabang Bandung, anggotanya baru mencapai 226 orang
(Agustus 1932), tetapi pada bulan Juni 1933 anggotanya telah mencapai 3.762
orang. Pada kongres Partindo bulan Juli 1933, Ir. Soekarno memperjelas konsep
Marhaenisme. Pada dasarnya Marhaenisme menolak analisa kelas dari PNI
Pendidikan dan lebih menyukai perjuangan membela rakyat kecil serta menekankan kebahagiaan,
kesejahteraan, dan keadilan sosial untuk Marhaen atau rakyat kecil yang
berjumlah hampir 95 persen.
Pada
tahun 1933 dikeluarkan larangan bagi pegawai negeri untuk menjadi anggota
Partindo. Hak bersidang makin dipersempit, maka atas tindakan pemerintah itu
Partindo hanya dapat membela diri melalui tulisannya dalam surat kabar. Dalam
sebuah tulisan Sartono menyampaikan : “..........
selama pena kita masih berpucuk, kita akan tetap mendengungkan suara kita dan
akan menentang segala hasutan yang ditujukan kepada pergerakan kemerdekaan
nasional. Kita harus mempersatukan jiwanya maupun kekuatannya”
Berakhirnya
Partindo
Partindo
yang akan mnyelenggarakan kongresnya tanggal 30 – 31 Desember 1934, dengan
cepat dilarang pemerintah. Untuk mengendorkan tekanan dari pemerintah terhadap
Partindo organisasi itu keluar dari PPKI, tetapi ternyata pemerintah masih
bertindak keras. Dari dalam sendiri, Partindo merasa terpukul dengan keluarnya
Ir. Soekarno (Oktober 1933). Namun Partindo berjalan terus sampai sampai tidak
dapat bergerak. Partindo membubarkan diri pada tanggal 18 November 1936.
Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia( PPPKI )
PPKI
terbentuk sebagai akibat dari kesadaran yang mulai muncul bahwa kekuatan
pergerakan nasional mesti dibenahi dan harus segera dibentuk front kesatuan
sebagai bentuk koordinasi bersama dalam menghadapi pemerintah kolonial,
koordinasi diperlukan sebab tidak mungkin masing-masing masih mengejar
kepentingan sendiri. Soekarno pun setuju untuk membentuk front bersama dan
merasa yakin bahwa persatuan kesatuan bisa diwujudkan dan perjuangan
kemerdekaan pun akan mudah terlaksana, beberapa organisasi pun mulai bergabung,
sempat ide ini ditolak oleh sebagian organisasi karena Soekarno dianggap
sebagai hasil didikan Belanda sehingga rasa nasionalisme Soekarno diragukan.
Setelah
melalui beberapa kendala akhirnya pada tahun 1927 dibentuklah PPPKI
(pemufakatan perhimpunan-perhimpunan politik kebangsaan indonesia) organisasi
ini menampung beberapa organisasi seperti PSI, BU, PNI, Pasundan, Sumatranen
Bond, Kaum Betawi. PPPKI pun semakin berkembang dan rutin mengadakan kongres
bahkan Soekarno pun sempat menjadi ketua majelis pertimbangan PPPKI akan tetapi
dalam perkembangan selanjutnya ternyata PPPKI tidak mampu mewujudkan cita-cita
idealnya hal ini dikarenakan adanya pertentangan antara Partindo dan PNI baru
yang mana semakin melemahkan PPKI, dan intervensi dari pemerintah Belanda pun
ikut menjadi faktor lemahnya PPPKI.
Sebagaimana
dijelaskan pada bab yang lalu, bahwa pergerakan nasional pada decade 1920-an
ditandai, antara lain, dengan adanya persaingan di antara kaum pergerakan
nasional sendiri dan penempatan gubernur jenderal yang reaksioner. Namun
demikian, dalam situasi seperti itu kaum nasionais terus berupayauntuk terus
memeprtahankan keberadaannya, bahkan meningkatkan perjuangannya. Atas dasar
itulah, maka kaum nasionalis mencoba menyatukan persepsi: bersatu untuk melawan
penjajah, menuju kemerdekaan. Satu hal yang perlu diperhatikan dari kondisi
kaum pergerakan nasional adalah sifatnya pluralistic. Sifat ini kemudian
menjadi karakteristik pergerakan pada decade ini. Adanya perbedaan golongan,
kepentingan, sikap dan orientasi perjuangan merupakan asset sekaligus juga
tantangan; betapa majemuknya kekuatan yang ada pada satu pihak, sedangkan pada
pihak lain tak akan terelakkan lagi betapa rapuh (fragile) kebinekaan itu.
Satu
upaya yang telah dicapai pada periode 1920-an adalah adanya keinginan kaum
pergerakan untuk mewujudkan asas persatuan Indonesia. Atas inisiatif studieclub
yang ada di Bnadung dan Surabaya pada bulan Desember 1926 didirikanlah Komite
Persatuan Indonesia. Organisasi-organisasi yang masuk ke dalam komite ini
adalah semua studieclub, Sarekat Islam, uhammadiyah, Jong Islamieten Bond,
Psundan, Persatuan Minahasa, Sarekat Ambon, dan Sarekat Madura. Akan tetapi,
komite ini tidak berjalan sebagaimana yang direncanakan semula (Pringgodigdo,
1980: 74).
Adalah
Partai Nasional Indonesia yang berdiri pada tanggal 4 Jui 1927 pimpinan Ir.
Soekarno dan beberapa orang bekas anggota Perhimpunan Indonesia, berupaya
mewujudkan impian Komite Persatuan Indonesia yang tidak pernah tercapai.
Setelah bekerja sama dengan Dr. Sukiman (PSI) dalam membuat peraturan
sementara, maka Ir. Soekarno (PNI) memprakarsai berdirinya Permufakatan
Perhimpunan Partij-partij Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada tanggal 17
Desember 1927 (Noer, 1996: 271). Partai-partai yang terhimpun dalam
permufakatan tersebut adalah PNI, PSI, BO, Pasundan, Sarekat Sumatera, Kaum
Betawi, Indonesische Studieclub, Sarekat Madura, Tirtajasa, dan Perserikatan
Celebes. Konsentrasi nasional PPPKI ini bertujuan sebagai berikut:
1) Menyamakan arah aksi kebangsaan,
memperkuatnya dengan memperbaiki organisasi dengan bekerjasama antaranggotanya.
2) Menghindarkan perselisihan
antaranggotamya.
Atas
dasar itu, maka di dalam konsentrasi itu tidak akan diperbincangkan masalah
asas dan faham-faham partai yang bergabung (Pringgodigdo, 1980: 74). Dengan
demikian, melalui PPPKI ini solidaritas antarorganisasi yang menjadi tuntutan
pokok dapat dilaksanakan (Kartodirdjo, 1990: 158). Dalam Anggaran Dasar PPPKI
juga disebutkan bahwa, rapat-rapat diadakan jika ada keperluan mendadak yang
pelaksanaannya sekurang-kurangnya setahun sekali. Sedangkan badan yang tetap
dari permufakatan ini adalah Majelis Pertimbangan yang terdiri dari seorang
ketua, sekretaris, bendahara, dan wakil-wakil partai.
Kongres
pertama PPPKI dilakukan pada tanggal 30 Agustus sampai dengan tanggal 2
September 1928 di Surabaya. Keputusan yang sangat penting dari kongres ini
adalah mosi ―dari rakyat kepada rakyat‖,
dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan pergerakan. Dalam mosi ini
dijelaskan tentang hal-hal berikut.:
1) dalam berpropaganda untuk organisasi
sendiri, anggota PPPKI tidak boleh menyalahkan asas-asas atau tujuan anggota
yang lain.
2) Tidak boleh mempergunakan kata-kata
yang sekiranya akan menyinggung persaan orang lain.
3) Segala perselisihan antarsesama
anggota PPPKI harus diselesaikan dengan jalan perundingan.
Pada
tanggal 25 – 26 Desember 1928 di Bndung, PPPKI mengadakan rapat dengan
mengambil keputusan sebagai berikut:
1) Akan menjalankan aksi yang kuat
untuk menentang segala pasal dalam Undang-Undang Hukum Pidana yang merintangi
orang-orang menyatakan pikirannya dengan merdeka dan merintangi aksi
lain-lainnya.
2) Akan menuntut supaya para interniran
yang tidak berdosa di Digul agar dibebaskan.
3) Akan membentuk suatu panitia untuk
pengajaran (sekolah) kebangsaan.
4) Akan menyerahkan memorandum tentang
peraturan punale sanctie terhadap kuli kontrak kepada Albert Thomas,
Ketua Konferensi Perburuhan Internasional, Genewa, bila ia dating ke Indonesia
(Persatuan Indonesia, 1 – 7 – 1928).
Mosi-mosi
di atas dilatarbelakangi oleh tindakan sewenang-wenang dari pemerintah terhadap
para aktivis pergerakan nasional. Sebagaimana diketahui bahwa, dalam peraturan
tentang menjalankan hak berserikat dan berkumpul di Indonesia dijelaskan,
antara lain, bahwa untuk mendirikan suatu perserikatan tidak usah mendapat ijin
dari pemerintah. Dijelaskan pula mengenai perserkatan yang terlarang yaitu jika
pendiriannya dirahasiakan dan jika yang berwajib menerangkan bahwa perserikatan
itu berlawanan dengan keamanan umum.
Akan
tetapi dalam kenyataannya, setiap perserikatan atau perkumpulan itu harus
mendapat ijin terlebih dahulu. Di samping itu, penguasa dengan semena-mena
menuduh seseorang atau badan yang dianggap melanggar pasal-pasal ―karet‖
karena mengganggu rust en orde keamanan dan ketertiban. Hal ini sering
terjadi terhadap seseorang yang dianggap anti pemerintah, sehingga dengan dalih
apapun kasum pergerakan akan tetap dipersalahkan.
Pada
konferensi di Yogyakarta yang diselenggarakan pada tanggal 29 – 30 Maret 1929,
PNI menganjurkan agar Perhimpunan Indonesia (PI) dijadikan pengawal terdepan di
Eropa. Hal ini penting sekali karena hal-hal berikut:
1) agar bangsa-bangsa di Eropa
mengetahgui secara pasti peristiwa-peristiwa yang sebenarnya terjadi di
Indonesia.
2) Sebaliknya, agar PPPKI mengetahui
kondisi politik di Eropa yang tentu ada kepentingannya dengan Indonesia.
Pada
kongres di Solo, 25 – 27 Desember 1929, PPPKI kembali mengemukakan mosi ―dari
rakyat dan untuk rakyat‖, antara lain, sebnagai berikut.
1) membuat panitia penyelidik pergerakan sekerja.
2) Buruknya penahanan lama-lama oleh poisi tas kaum poitisi.
3) Tidak sahnya larangan bagi pegawai negeri untuk menjadi
anggota partai nasional.
4) setiap orang yang tidak menghormati persatuan Indonesia
adalah musuh Indonesia.
5) Pembentukan fonds nasional untuk meningkatkan propaganda di
dalam dan di aur negeri.
Sementara
itu, sehubungan dengan adanya penggeledahan terhadap para pimpinan PNI (29
Desember 1929), PPPKI memprotes penggeledahan itu (12 Januari 1930). Di samping
itu, memperkuat dukungan terhadap fonds nasonal untuk membantu keluarga yang
sedang dalam tahanan. Hal yang tak kalah pentingnya adalah mosi ―dari rakyat
untuk rakyat‖, dalam kondisi apa pun pergerakan
akan tetap ditingkatkan untuk meneruskan aksi menuju kemerdekaan. Bagaimanapun
pada masa itu terjadi pengawasan pemerintah yang berlebihan, baik terhadap
perorangan maupun terhadap organisasi.
Seperti
dikemukakan pada bagian yang lalu bahwa, benih-benih keretakan telah nampak
ketika permufakatan ini mulai berdiri. Pertentangan pun tak dapat dielakkan
lagi, sehingga pada bulan Desember 1930 PSI ke luar dari PPPKI. Di samping itu,
juga adanya perpecahan dalam Partindo dan PNI Baru. Meskipun kedua organisasi
ini berasa;l dari PNI (lama), akan tetapi ketika Ir. Soekarno dan kawan-kawan
dipenjara, terjadilah dua kubu kekuatan yang satu dan lainnya tidak dapat
dipersatukan kembali. Polarisasi ini lebih jelas lagi ketika Ir. Soekarno
memiih Partindo, sedangkan Drs. Moh. Hatta memiih PNI Baru.
Namun
demikian, PPPKI berupaya mempertahankan diri baik dari keretakan dalam federasi
maupun karena reaksi dari penguasa. Untuk mewujudkan cita-citanya, PPPKI
meakukan hal-hal berikut:
1) mengganti nama permufakatan menjadi
persatuan; kebangsaan menjadi kemerdekaan.
2) Memindahkan Majelis Pertimbangan
dari Surabaya ke Jakarta.
3) Melakukan berbagai aksi untuk
menentang kebijakan pemerintah dalam hal berserikat, hokum pidana, dan hak-hak
luar biasa pemerintah atas pengasingan.
Ketiga
upaya di atas diharapkan akan memperkuat pergerakan, sehingga dengan demikian
berbagai partai politik yang ada tidak dipaksa untuk mufakat, me;lainkan
diusahakan cara-cara yang demokratis sesuai dengan latar belakang setiap
parpol. Adapun pemindahan Majelis pertimbangan ke Jakarta, mengingat bahwa
Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan tempat berdirinya berbagai organisasi
pergerakan. Sedangkan hal yang terakhir adalah upaya PPPKI dalam rangka membela
para pemimpin pergerakan yang pada masa itu diasingkan, antara lain, Ir.
Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Sutan Sjahrir.
Sementara
itu, pada paruh kedua decade1930-an karena reaksi dari pemerintah colonial,
PPPKI tidak bias mempertahankan aksinya lagi. Tambahan pula, upaya-upaya Ir.
Soekarno untuk memperbaiki dan mendorong aksi-aksi PPPKI tidak bias dilakukan
lagi. Kondisi ini menyebabkan sikap pergerakan mencari format baru dalam
mempersatukan partai-partai yang ada melalui Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Pembentukan
GAPI
Kepasifan
PPPKI menyebabkan tenggelamnya persatuan itu. Oleh karena itu, diperlukan wadah
baru untuk merapatkan barisan dalam menentang penjajah Belanda. Hal ini
ditempuh karena beberapa sebab. Pertama, tidak adanya keputusan yang
bersifat politik baik dari MIAI sebagai organisasi religius maupun Parindra
dari non religius (Kartodirdjo, 1990: 185). Kedua, tersumbatnya
Volksraad dalam mengeluarkan aspirasi Bangsa Indonesia melalui kaum pergerakan.
Mandegnya fraksi nasional dan ditolaknya Petisi Soetardjo merupakan contoh dari
kegagalan ini. Ketiga, kegagalan Badan Perantaraan Partai-partai Politik
Indonesia (BAPEPPI) dalam melaksanakan programnya. Keempat, melalui
heterogenitas Indonesia dikumandangkan rencana Colijn untuk membentuk
negara-negara pulau sebagai reaksi dari politik devide et impera. Selain
faktor-faktor di atas, hal yang tidak kalah pentingnya adalah situasi
internasional pada saat itu.
Alasan
ini pula yang melatarbelakangi inisiatif Husni Thamrin (Parindra) mengadakan
rapat tanggal 19 Maret 1939 untuk mendirikan badan konsentrasi yang baru.
Sebagai realisasi dari rapat di atas, maka pada tanggal 21 Mei 1939 diadakan
rapat umum yang menghasilkan pembentukan konsentrasi nasional, Gabungan Politik
Indonesia (GAPI). Sesuai dengan anggaran dasarnya tujuan GAPI adalah:
1) Menghimpun organisasi-organisasi
politik bangsa Indonesia untuk bekerja bersama-sama.
2) Menyelenggarakan kongres Indonesia.
Pada
bagian lain anggaran dasarnya disebutkan, bahwa Gabungan Politik Indonesia
berdasarkan kepada beberapa hal berikut.
1) Hak untuk menentukan dan mengurus nasib
bangsa sendiri.
2) Persatuan Nasional dari seluruh
bangsa Indonesia, dengan berdasar kerakyatan dalam paham politik.
3) Persatuan aksi seluruh pergerakan
Indonesia.
Meskipun
persatuan nasional merupakan dasar aksi GAPI, akan tetapi dalam kenyataannya
perpecahan dalam tubuh kaum pergerakan tidak bisa diabaikan begitu saja.
Bagaimanapun hal ini akan mempengaruhi bahkan menghambat pencapaian tujuan
GAPI. Perpecahan tersebut terlihat ketika berdidinya Golongan Nasional
Indonesia di samping adanya Fraksi Nasional. Di samping itu, di antara
anggota-anggota pun terdapat perbedaan yang tidak bisa diselesaikan.
Terdapatnya anggota-anggota GAPI, Parindra, PSII, PII, Pasundan dan Gerindo
yang mempunyai konflik: PII Sukiman dengan PSII Abikusno; Gerindo dengan Moh.
Yamin. Sementara itu perpecahan kaumm pergerakan tidak menjadi penghalang utama
bagi GAPI untuk melakukan aksi-aksinya.
Pada
rapatnya tanggal 4 Juli 1939 GAPI memutuskan pendirian Kongres Rakyat Indonesia
(KRI). Pembentukan kongres ini merupakan pelaksanaan program GAPI. Disamping
itu GAPI melakukan aksi Indonesia Berparlemen. Dengan aksi ini diharapkan
pemerintah Nederland memberi peluang untuk meningkatkan keselamatan dan
kesejahteraan rakyat melalui Kongres Rakyat Indonesia. Tujuan ini dikemukakan
berhubung dengan timbulnya Perang Dunia II. Bertalian dengan hal di atas, GAPI
juga menawarkan hubungan kerja sama Indonesia dengan Belanda, dengan harapan
adanya perhatian Belanda terhadap aspirasi rakyat Indonesia. Hal ini untuk
merealisasikan keputusan-keputusan konferensi GAPI yang dilangsungkan pada
tanggal 19 dan 20 September 1939, antara lain sebagai berikut.:
1)
Perlunya dibentuk parlemen yang
anggota-anggotanya dipilih dari dan oleh rakyat, pemerintah harus bertanggung
jawab kepada parlemen itu.
2)
Jika keputusan No. 1) dipenuhi, maka
GAPI akan memaklumkan kepada rakyat untuk mendukung Belanda.
3)
Anggota-anggota GAPI akan bertindak
semata-mata dalam ikatan GAPI (Pringgodigdo, 1980: 145).
Dalam
berbagai konferensi dan resolusi, GAPI ternyata tetap mendesak pemerintah agar
mengadakan parlemen sejati; bagaimanapun Volksraad yang ada tidak representatif
bagi rakyat Indonesia. Oleh karena itu, aksi-aksi GAPI ―Indonesia Berparlemen‖
merupakan program yang terus-menerus dan disebarluaskan kepada semua partai
baik anggota GAPI maupun anggota Kongres Rakyat Indonesia. Tambahan pula, bahwa
GAPI sebagai badan pekerja KRI itu sudah menjadi kewajiban GAPI untuk
mempropagandakannya oleh semua Komite Indonesia Berparlemen di seluruh Indonesia.
Tuntutan
GAPI, Indonesia Berparlemen, ternyata kurang mendapat perhatian dari
pemerintah. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa segala sesuatu yang
berhubungan dengan status kenegaraan Indonesia akan dibicarakan setelah selesai
perang. Kondisi Belanda yang diduduki Jerman sejak bulan Mei 1940 ini tentu
merupakan salah satu alasan bagi pemerintah Belanda. Dan ketika pemerintah
Netherland menjadi Exile Government di London ini berarti semakin
menjauhkan hubungan Indonesia dengan Belanda.
Akan
tetapi desakan yang terus-menerus dari GAPI ―Indonesia Berparlemen‖
telah memaksa Belanda membentuk suatu panitia ―Commisie tot bestudering van
staattrechtelijke hervormingen‖ (Panitia untuk mempelajari
perubahan-perubahan tata negara). Panitia yang biasa disebut Commisie Visman
-nama ketuanya Visman- ini dibentuk pada bulan November 1940 dan laporannya ke
luar tahun 1942 (Pringgodigdo, 1980: 196). Commisie Visman sendiri meminta
keterangan dari GAPI untuk melakukan penjelasan mengenai Indonesia Berparlemen.
Melalui
rapat Pleno GAPI pada tanggal 31 Januari 1941, aksinya GAPI mengajukan
memorandum yang isinya sebagai berikut:
A. Bentuk dan Susuna Parlemen.
1) Parlemen yang dicita-citakan oleh
GAPIterdiri dari dua majelis, Majelis Pertama (Eerste Kamer) dan Majelis Kedua
(Tweede Kamer).
2) Hak anggota kedua Majelis diberikan
pada penduduk Negara (Staatsburger) baik laki-laki maupun perempuan.
3) Semua anggota dipilih:
a.
Rapat Majelis Pertama, menurut
aturan yang akan ditentukan, aturan mana harus memberi tanggungan, supaya
golongan-golongan atau aliran-aliran (groepeeringen en stromingen) dalam
masyarakat mendapat perwakilan yang pantas dan adil.
b. Buat Majelis Kedua oleh rakyat (staatsburger).
4) Penduduk Negara terdiri pada asasnya
dari ―Netherlandsh Onderdaan‖ yang sekarang.
5) Pemilihan dari anggota majelis kedua
dilakukan atas dasar berimbangan (evenredigheid) dan pembagian dalam
daerah-daerah (regional).
6) Hak memilih adalah umum dan
langsung.
7) Hak memilih pada azasnya diberikan
kepada tiap-tiap penduduk Negara.
8) Jumlah anggota Majelis Pertama dan
Majelis Kedua adalah masing-masing sedikitnya 100 dan 200.
9) Parlemen adalah kekuasaan Pembikin
Hukum yang tertinggi.
10) Parlemen menentukan semua peraturan
yang mengenai kepentingan negara.
B. Bentuk Indonesia Berparlemen.
1) Indonesia adalah suatu negara
dikepalai oleh seorang Kepala Negara (Staatshoofd).
2) Kepala Negara mempunyai hak veto
(meminta dan menolak usulan parlemen), dan tidak memberi pertanggungan kepada
parlemen (ouschenbaar).
3) Menteri-menteri menanggung jawab.
4) Kekuasaan buat buat menjalankan
pemerintahan adalah pada Kepala Negara.
5) Kepala Negara mengangkat dan melepas
menteri-menteri sesudah bermusyawarah dengan parlemen.
6) Kepala Negara dibantu oleh satu
badan penasehat Raad Van Staat yang anggotanya diangkat dan dilepas oleh Kepala
Negara.
7) Indonesia dan Netherland menjadi
satu serikat negara (Statenbond).
C. Daya upaya untuk menciptakan
Indonesia Berparlemen.
1) Harus diadakan perubahan-perubahan
tata negara dalam arti kata kemajuan dalam susunan tata negara.
2) Langkah-langkah pertama yang
dilakukan oleh pemerintah luhur (Oppersbestuur) c.q. Pemerintah Hindia
Belanda (Indische Regering).
a.
Mengangkat seorang Gubernur Jenderal
bangsa Indonesia.
b. Mengangkat seorang onserdirektur
bangsa Indonesia buat tiap-tiap departemen c.q. menambah tenaga Indonesia dalam
pimpinan departemen-departemen.
c.
Mengangkat lebih banyak bangsa
Indonesia di dalam Raad van Indie.
d. Mengangkat Majelis Rakyat (volkskamer)
di samping Volksraad yang sekarang.
e.
Melakukan pemilihan-pemilihan buat
anggota-anggota Majelis Rakyat, menurut aturan pemilihan umum dan langsung atas
dasar pertimbangan (evendigheid) dan pembagian dalam daerah-daerah (regional).
f.
Memberikan hak dua memilih dan buat
dipilih buat pemilihan anggota-anggota Majelis Rakyat pada penduduk negara,
Rakyat Kerajaan Belanda (Nederlandsch Orderdaan) laki-laki dan
perempuan.
g.
Menentukan wakil-wakil pemilih baik
laki-laki maupun perempuan (Kiesmanen en Kiesvrowen) buat yang tidak
pandai membaca dan menulis salah satu tulisan di Indonesia.
3) Volksraad dan Majelis Rakyat
bersama-sama menjadi perwakilan rakyat.
4) Pemerintah dan Perwakilan Rakyat
bersama-sama menjadi ―Pemerintah Berdiri Sendiri‖ (Self
Government).
5) Pemerintah berdiri sendiri mengatur
kepentingan negara (Begrooting, dll).
6) Pemerintah luhur (Opperbestuur) dan
pemerintah berdiri sendiri (Self Government) bersama-sama menentukan:
a.
Hukum Dasar Negara (constitutie) yang
harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak saja susunan tata negara, tetapi
susunan sosial ekonomi dan masyarakat juga diatur menurut atas kerakyatan
(Demokrasi).
b. Perhubungan dengan negara-negara lain.
c.
Peraturan-peraturan kepentingan pertahanan (pembelaan)
negara.
7) Susunan tata negara yang menciptakan
Indonesia Berparlemen hendaklah tercapai dalam 5 tahun, jika perlu menggunakan
staatsnoodrecht (Penjedar, no. 9, 27 Februari 1941; EYD dari penulis).
8) Memorandum yang diajukan GAPI itu
menunjukan bahwa bangsa Indonesia mempunyai keinginan dan kemampuan untuk
mengurus sendiri bangsa dan negaranya. Hal ini juga sekaligus menghapus
ketidakpercayaan pemerintah kolonial yang selalu menganggap bahwa bangsa
Indonesia masih mentah dan belum bisa menyelenggarakan pemerintah sendiri.
Memorandum
yang diajukan GAPI itu menunjukan bahwa bangsa Indonesia mempunyai keinginan
dan kemampuan untuk mengurus sendiri bangsa dan negaranya. Hal ini juga
sekaligus menghapus ketidakpercayaan pemerintah kolonial yang selalu menganggap
bahwa bangsa Indonesia masih mentah dan belum bisa menyelenggarakan pemerintah
sendiri.
Sebagaimana
dijelaskan pada butir C.2.d bahwa pemerintah Hindia Belanda akan mengadakan
Majelis Rakyat. Meskipun aksi GAPI ditolak, akan tetapi Majelis Rakyat
Indonesia terbentuk sebagai pengganti Kongres Rakyat Indonesia (13-14 September
1941). Pembentukan MRI itu juga tidak lepas dari tujuan GAPI semula: mencapai
kesentosaan dan kemuliaan rakyat yang berdasarkan demokrasi. Tambahan pula MRI
ini dianggap sebagai suatu badan perwakilan rakyat Indonesia, dimana di
dalamnya terdapat GAPI, MIAI, dan PVPN. Jika dilihat anggota-anggotanya MRI ini
dapat dikatakan sebagai koonmsentrasi nasional. Apalagi ia merupakan badan yang
meliputi seluruh pergerakan rakyat. Akan tetapi unsur dari GAPI mempunyai
pengaruh terbesar dalam MRI. Agar terlihat aktivitas dan orientasi komsentrasi
nasional PPPKI dan GAPI.
0 komentar:
Posting Komentar